Sabtu, 10 Januari 2009

Memonitor karyawan melalui jaringan: tidak etis atau bisnis yang baik?

Pengunaan e-mail saat ini semakin berkembang hingga jutaan orang di dunia menggunakannya. Semua itu karena mereka ingin mendapatkan komunikasi yang cepat, nyaman, dan murah untuk kepentingan bisnis dan pribadi. Tidaklah mengejutkan bila tujuan e-mail untuk tujuan pribadi di tempat kerja juga bertumbuh, sejalan dengan bertumbuhnya penggunaan Web untuk tujuan pribadi. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa sedikitnya 25% waktu online internet dipergunakan karyawan bukan untuk tujuan kerja.

Banyak perusahaan sekarang mulai memonitor penggunaan e-mail dan internet karyawannya, termasuk penggunaan e-mail, koneksi internet, dan file-file komputer. Walaupun perusahaan-perusahaan di Amerika mempunyai hak legal untuk memeriksa e-mail dan internet karyawannya, apakah tindakan itu dapat dikatakan tidak etis atau demi kebaikan bisnis?

Para manajer kuatir jika akibat perbuatan karyawan menyebabkan pekerjaan mereka tidak fokus dan produktivitas menurun. Terlalu banyaknya waktu yang digunakan untuk tujuan pribadi, entah terkait dengan internet atau tidak, bisa berarti hilangnya pendapatan atau pemborosan biaya untuk hal-hal yang bukan tujuan utama bisnis. Sewaktu karyawan menggunakan e-mail atau Web dengan fasilitas karyawan, apapun yang mereka perbuat, termasuk apapun yang tidak sah, membawa nama perusahaan. Manajemen takut bila e-mail yang berbau ras, eksploitasi seks, atau SARA bisa merugikan publisitas dan bahkan tuntutan hukum. Bahkan jika perusahaan ternyata tidak bertanggung jawab, tetap saja menanggapi tuntutan hukum akan memakan banyak biaya perusahaan. Perusahaan juga takut bila ada kebocoran e-mail mengenai rahasia perdagangan.

Dari kasus yang saya baca di www.hukumonline.com tanggal 30 April 2007, tuntutan hukum antara karyawan dan perusahaan terjadi juga di Indonesia. Sedikit akan saya ceritakan tentang kasus tersebut. Edy, Staf Informasi dan Teknologi (IT) di PT Thames PAM Jaya, dipecat dari pekerjaannya gara-gara diduga melakukan bisnis sampingan menggunakan account email kantor. Hal itu menyebabkan kedua pihak berurusan dengan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Edy menggugat perusahaan tempat dia bekerja. Kisruh kedua pihak bermula dari adanya kesulitan perusahaan menemui Edy. Manajer IT mengadukan masalah ini ke HRD Manager, lalu dibentuklah sebuah tim investigasi. Hasil investigasi tertanggal 8-9 Juni 2006 itu antara lain menyimpulkan Edy tidak fokus pada pekerjaannya dan sering meninggalkan kantor sebelum waktunya. Direktur IT Thames, Feni Rahayu menyatakan bahwa sanksi maksimal bagi pelanggaran yang dilakukan Edy ialah pemutusan hubungan kerja. Saksi dari PT Thames ini menyatakan setelah dilakukan investigasi oleh Tim IT Perusahaan terhadap kegiatan elektronik Edy, ditemukan bukti adanya aktivitas Edy dalam kegiatannya sebagai direksi perusahaan konsultasinya yang menggunakan email perusahaan air ini. Sebelumnya menurut Feni PT Thames juga pernah memPHK pekerjanya untuk kasus yang sama. Menurut Kuasa Hukum Thames, Riezka Gees Indrawanita, masalahnya terletak pada penggunaan domain email kantor, yang bertentangan dengan kebijakan IT perusahaannya. Lanjutnya tidak seharusnya Edy menggunakan email kantor dalam kapasitasnya sebagai direktur perusahan konsultasi IT. Sebaliknya, pengacara Edy menganggap tuduhan Thames berlebihan. Mengutip salinan gugatan, dalam surat kebijakan tentang email, pekerja diperbolehkan menggunakan email untuk kepentingan pribadi sampai batas-batas tertentu. Nah, frase ‘batas tertentu’ ini tidak didefinisikan secara jelas, sehingga tidak ada standar pasti.

Upaya yang telah dilakukan beberapa perusahaan adalah berusaha melarang semua aktivitas pribadi pada jaringan perusahaan. Sebagian lagi memblokir akses ke Web site tertentu atau membatasi waktu pemakaian Web menggunakan perangkat lunak yang bisa mencatat jumlah waktu browsing, situs-situs apa yang dikunjungi dan file-file apa yang didownload. Perangkat lunak pemonitoran ini bahkan memungkinkan karyawan bagaimana aktivitasnya dimonitor. Sebagian perusahaan bahkan memecat karyawan jika ketahuan melanggar batasan-batasan tersebut. tidak ada solusi yang bebas masalah, namun banyak konsultan yakin bahwa perusahaan harus membuat peraturan tertulis yang berkenaan dengan pemakaian e-mail dan internet. Kebijakan itu juga harus dengan jelas memberikan alasan mengapa aktivitas itu harus dimonitor. Peraturan itu mungkin perlu disesuaikan pada beberapa perusahaan tertentu, karena berbagai perusahaan perlu mengakses berbagai materi Web yang berbeda-beda sebagai bagian dari bisnis mereka. Misalnya, sebagian perusahaan tertentu mungkin tidak memperbolehkan karyawan mengakses situs-situs yang berbau seksual, namun perusahaan seperti badan hukum atau rumah sakit bisa saja malah membutuhkan akses ke situs-situs tersebut, seperti halnya perusahaan investasi membutuhkan akses ke situs-situs yang menyediakan materi investasi.

Dari sisi pegawai, saya tidak setuju akan adanya peraturan yang manajemen buat, dan administrator lakukan terhadap kebijakan manajemen tersebut. Ditakutkan Dengan kebijakan yang baru akan membuat sebuah masalah baru yang bisa berakibat fatal terhadap perusahaan. Karyawan akan merasa tak nyaman dalam peraturan baru, merasa tertekan dan terbatasi oleh peraturan, akibatnya tentu pada produktifitas kerja yang menurun. Tentu hal ini tidak diinginkan oleh pihak manajemen. Walau demikian tentu saya sangat mengerti akan keadaan perusahaan, saya juga tidak ingin perusahaan jadi bangkrut hanya karena penggunaan internet dan tentu akan membuat saya menganggur(hehe...). Kembali pada sisi Organization Behaviornya, yang mana budaya kerja di suatu perusahaan akan sangat mempengaruhi kinerja orang-orang di dalamnya (bukan karena saya orang HR loh, tapi ini sesuai realita apa yang saya alami di pekerjaan saya sebelumnya J)

Ada dua rekomendasi yang saya usulkan untuk mengatasi masalah ini, tapi saya juga tidak tahu apakah akan menyelesaikan masalah atau tidak.

1. Buat aturan yang ketat sebelumnya, bahwa karyawan hanya boleh mengirim e-mail pribadi tidak di waktu jam kerja. Amerika saja bisa melegalkan aturan ini. Jika pemerintah tegas, bukan tak mungkin perusahaan di Indonesia juga punya hak untuk melakukan pemeriksaan terhadap aktivitas e-mail karyawannya.

2. Untuk sementara diberlakukan sistem quota penggunaan internet bagi karyawan. Hal ini untuk mencegah pengeluaran yang berlebihan. Tapi dengan syarat, karyawan dapat melihat keadaan quota yang dimiliki setiap saat, agar karyawan juga dapat benar-benar menggunakan sesuai kepentingan.

Mungkin teman-teman dapat menambahkan untuk rekomendasi, saya sangat berterima kasih atas masukannya jika teman-teman sudi memberikan komentar.... terima kasih..

Daftar Pustaka

Laudon, Kenneth C. & Jane P. (2004), Management Information System, Prentice hall

www.hukumonline.com

Tidak ada komentar: